Senin, 22 Mei 2017

Mbak Sri

MASIH ingat Sri Sang Pemangkas Anggaran? Tulisan tentangnya tersua dalam artikel bertajuk Sri Mulai Pangkas Anggaran. Akhir tahun lalu, saya menemu 2 Sri yang memangkas anggaran. Pertama, Sri yang kabarnya memangkas APBN. Kedua, Sri yang saya ceritakan dalam artikel di atas. Mirip-miriplah sama Sri yang pertama. Sama-sama memangkas anggaran. Hanya saja, yang kedua ini memangkas anggaran rumah tangganya sendiri. Kedua Sri itu tampaknya juga tipikal perempuan yang dalam bahasa Jawa disebut cak-cek. Segera bertindak. Sri pertama, berdasar berita beredar, segera memangkas anggaran negara setelah dilantik menjadi menteri. Sedangkan, Sri kedua segera memangkas biaya rokok suami setelah mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan. Lo piye, rak sebelas-duabelas ta?




Tempo hari, saya dolan ke rumah Sri. Iya, Sri yang kedua. Saya berangkat bertiga bersama kawan saya, Bustanul dan Genadi, sekira pukul 07.00 WIB. Satu setengah jam kemudian, kami sudah sampai di desa tempat Sri tinggal. Eh, saya sebut Mbak Sri saja ya? Biar lebih enak. Saya agak sungkan menyebut orang yang baru kenal secara njambal, dengan menyebut nama saja. Ndak elok.

Kami sengaja tak langsung ke rumah Mbak Sri. Kami urutkan kunjungan kami: Juwariyah, Kadarukmi, Sri—eh, Mbak Sri, dan terakhir Yulaikah. Kami perlakukan adil. Masing-masing kami kunjungi lebih-kurang 1 jam. Maka, sekira pukul 10.30 WIB, kami baru sampai rumah Mbak Sri.

Dia sedang menyapu saat kami datang. Dan dia masih setia mengenakan babydoll. Kali ini kombinasi putih dan merah muda. Gambarnya serupa yang dulu: hello kitty. Mungkin Mbak Sri memang menyukai tokoh kartun itu. Tanpa ditanya dia cerita, “Saya baru datang jemput anak sekolah, Pak.” Pasti menjemput anak bungsunya. Sementara, Si Bungsu yang dia maksud sudah tampak bermain dengan anak tetangga sepantarannya.

Percakapan kami dengan Mbak Sri berlangsung cukup gayeng. Sepulang dari sawah, suami Mbak Sri juga nimbrung. Katanya, pekerjaan di sawah cukup menyita waktunya sehingga tak sempat mengurusi hal lain, mengatur keuangan rumah tangga misalnya. Ia mendukung saja istrinya yang mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan.

Mbak Sri lebih banyak bercerita. Dia tak canggung lagi. Kadang suaranya meninggi dan sedikit patah-patah saat menceritakan usahanya. Tampaknya, dia sedang senang dan bersemangat. Katanya, pukul 03.00 WIB, saat orang lain masih pulas, dia sudah melaju motornya ke pasar. Kulak. Sampai rumah, dia segera membuat tempe. Tak kurang dari 4 kilogram kedelai per hari yang dia olah. Lalu, dia segera menggelar dagangannya di teras rumah. Tetangga kiri-kanan rumah menjadi pelanggan setianya. Apabila tak habis terjual, pada 06.30 WIB dia kayuh sepeda tuanya berkeliling desa untuk menjajakan sisanya. Paling sering, pukul 08.30 WIB dia sudah kembali ke rumah. Setelah bersiap, dia kembali keluar rumah; menjemput anaknya di sekolah. Begitulah yang dia lakoni setiap hari.

Omong-omong, di ruang tamunya sudah ada beberapa tumpukan keramik. Di halaman depan juga ada gundukan pasir. “Dikumpulkan sedikit-sedikit, Pak. Biayanya mahal. Kalau tidak dicicil, mana bisa,” kata suami Mbak Sri. “Itu dua rit, Pak,” imbuhnya.

Mbak Sri kemudian mengambil buku catatan keuangannya. “Ini Pak, terus saya kerjakan. Tetap belajar kelompok,” kata Mbak Sri, “Halamannya tinggal sedikit, Pak. Hampir habis,” imbuhnya.

Kami senang, ada perubahan pascapelatihan yang kami lakukan: efisiensi anggaran rumah tangga, penambahan jumlah tabungan, pencatatan keuangan, dan perencanaan keuangan bersama keluarga. Peserta pelatihan, seperti Mbak Sri, serius dan tekun mempraktikkan ilmu yang mereka peroleh saat pelatihan.

Tetiba saya teringat satu-dua kawan yang dengan tertawa-tawa dan tanpa beban berkata, berkali-kali, “Ini murni bisnis. Kita harus menanggalkan jiwa pemberdayaan kita.” Benarlah bahwa perut yang lapar—selalu merasa lapar—adalah pokok dari masalah. Dengannya, jiwa-jiwa yang kerdil dengan mudah menjual dirinya kepada sesiapa yang dapat memenuhi hasratnya. Meski harus memasung kemerdekaannya. Meski harus mengorbankan orang yang papa.

Padahal, rakyat—orang yang papa itu, menyitir puisi Hartoyo Andangjaya, adalah orang-orang yang “mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota” dan juga menggerakkan kapital dalam bank-bank itu, saya kira. Rakyat adalah “darah dalam tubuh bangsa, debar sepanjang masa”. Dan sesungguhnya, pada akhirnya, “rakyat adalah kita”. Maka, akankah kita mengkhianatinya? (fgs)



2 komentar: